Gangguan
psikosomatis adalah faktor psikologis yang merugikan, mempengaruhi kondisi
medis pasien. Faktor psikologis tersebut dapat berupa gangguan mental, gejala
psikologis, sifat kepribadian atau gaya mengatasi masalah, dan prilaku
kesehatan yang mal-adaptif.
Gangguan
psikosomatik ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-gejala yang menyerupai
penyakit fisik dan diyakini adanya suatu hubungan yang erat antara suatu
peristiwa psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-gejala tersebut.
Para
pakar kedokteran psikosomatis menyadari kesatuan dari pikiran dan tubuh serta
interaksi diantara keduanya, dimana faktor psikologis penting dalam
perkembangan semua penyakit, namun apakah peranannya dalam memulai,
perkembangan, memperberat dan eksaserbasi penyakit, predisposisi atau reaksi
terhadap suatu penyakit masih dalam perdebatan.
Pengertian Psikosomatis
Psiko
artinya pikiran dan soma artinya tubuh. Jadi, penyakit psikosomatis artinya
penyakit yang timbul atau disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang.
Penyakit ini juga disebut dengan penyakit akibat stress. Penyakit psikosomatis
sekarang sering disebut dengan penyakit psikofisologis. Namanya saja yang
sedikit berbeda namun maknanya sama.
Gangguan
psikosomatik ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-gejala yang menyerupai
penyakit fisik dan diyakini adanya suatu hubungan yang erat antara suatu
peristiwa psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-gejala tersebut.
Gangguan psikosomatik ini banyak ditemukan pada praktek dokter sehari-hari;
namun gangguan ini sering kali diabaikan dan bahkan dilupakan. Biasanya penderita
datang dengan beraneka macam keluhan somatik mulai dari keluhan jantung,
keluhan sakit perut seperti nyeri ulu hati, kembung,mual diare(keluhan
gastrointestinal), keluhan sakit kepala dan lain-lain. Ditempat praktek dokter
sehari-hari banyak pasien hanya menonjolkan keluhan-keluhan somatik saja tanpa
menyertakan keluhan-keluhan psikisnya. Jarang sekali faktor psikis(emosi)
seperti fristasi, konflik, ketegangan dsb dikemukakan sebagai keluhan utama
oleh penderita, padahal faktor psikis tersebut yang memicu munculnya keluhan
fisik penderita. Prevalensi gangguan psikosomatik cukup tinggi yaitu
16,1-21,9%, bahkan Fink et al menemukan sampai 30,3%.
Untuk mempertajam diagnosis dan untuk
membatasi diri dari gangguan psikiatri yang berat(misalnya psikosis), maka
gangguan psikosomatik memiliki ciri-ciri dan kriteria klinis sebagai berikut :
Tidak didapatkan kelainan psikiatris.
Penderita masih sadar bahwa dirinya sakit dan masih aktif mau datang berobat.
Keluhan yang timbul selalu berhubungan dengan
emosi tertentu. Misalnya keluhan timbul
saat berad di kantor sedangkan di rumah tidak apa-apa.
Keluhan berganti-ganti dari satu sistim organ
ke sistim organ lain. Misalnya hari ini keluhan pada sistim kardiovaskular
beberapa minggu kemudian hilang dan pindah ke sistim gastrointestinal.
Ditemukan adanya ketidakseimbangan sistim
syaraf otonom vegetatif.
Riwayat hidup penderita penuh dengan konflik
atau stres.
Terdapat perasaan negatif yang menjadi titik
tolaj keluhannya(dongkol, cemas, sedih, cemburu dsb)
Terdapat faktor presipitasi atau pencetus yang
mendahului segala keluhannya. Bisa berupa psikis atau fisik.
Adanya faktor penyedia (predisposisi) yang
diketahui dengan anamnesis jauh kebelakang sejak pasien dikandung, dilahirkan
dan dibesarkan. Faktor predisposisi ini bisa berupa faktor biologis maupun
perkembangan kejiwaan penderita tersbut.
Apabila terdapat salah satu kriteria tersebut
diatas, mungkin ada gangguan psikosomatik.
Penyebab psikosomatis
Ada
beberapa penyebab dari gangguan psikosomatis:
1.
Stres Umum
Stres
ini dapat berupa suatu peristiwa atau suatu situasi kehidupan dimana individu
tidak dapat berespon secara adekuat. Menurut Thomas Holmes dan Richard Rahe,
didalam skala urutan penyesuaian kembali sosial (social read justment rating
scale) menuliskan 43 peristiwa kehidupan yang disertai oleh jumlah gangguan dan
stres pada kehidupan orang rata-rata, sebagai contohnya kematian pasangan 100
unit perubahan kehidupan, perceraian 73 unit, perpisahan perkawinan 65 unit, dan kematian anggota
keluarga dekat 63 unit. Skala dirancang setelah menanyakan pada ratusan orang
dengan berbagai latar belakang untuk menyusun derajat relatif penyesuaian yang
diperlukan olewh perubahan lingkungan kehidupan. Penelitian terakhir telah
menemukan bahwa orang yang menghadapi stres umum secara optimis bukan secara
pesimis adalah tidak cenderung mengalami gangguan psikosomatis, jika mereka
mengalaminya mereka mudah pulih dari gangguan.
2.
Stres Spesifik Lawan Non Spesifik
Stres
psikis spesifik dan non spesifik dapat didefenisikan sebagai kepribadian
spesifik atau konflik bawah sadar yang menyebabkan ketidakseimbangan
homeostatis yang berperan dalam perkembangan gangguan psikosomatis. Tipe
kepribadian tertentu yang pertama kali diidentifikasi berhubungan dengan
kepribadian koroner (orang yang memiliki kemauan keras dan agresif yang
cenderung mengalami oklusi miokardium).
3.
Variabel Fisiologis
Faktor
hormonal dapat menjadi mediator antara stres dan penyakit, dan variabel lainnya
adalah kerja monosit sistem kekebalan. Mediator antara stres yang didasari
secara kognitif dan penyakit mungkin hormonal, seperti pada sindroma adaptasi
umum Hans Selye, dimana hidrokortison adalah mediatornya, mediator mungkin mengubah
fungsi sumbu hipofisis anterior hipotalamus adrenal dan penciutan limfoit.
Dalam rantai hormonal, hormon dilepaskan dari hipotalamus dan menuju hipofisis
anterior, dimana hormon tropik berinteraksi secara langsung atau melepaskan
hormon dari kelenjar endokrin lain. Variabel penyebab lainnya mungkin adalah
kerja monosit sistem kekebalan. Monosit berinteraksi dengan neuropeptida otak,
yang berperan sebagai pembawa pesan (messager) antara sel-sel otak. Jadi,
imunitas dapat mempengaruhi keadaan psikis dan mood.
Gangguan Spesifik pada Psikosomatik
Ada
beberapa gangguan spesifik yang dapat disebabkan oleh gangguan psikis:
1.
Sistem Kardiovaskuler
Mekanisme
yang terjadi pada psikosomatis dapat melalui rasa takut atau kecemasan yang
akan mempercepat denyutan jantung, meninggikan daya pompa jantung dan tekanan
darah, menimbulkan kelainan pada ritme dan EKG. Kehilangan semangat dan putus
asa mengurangi frekuensi, daya pompa jantung dan tekanan darah. Gejala-gejala
yang sering didapati antara lain: takikardia, palpitasi, aritmia, nyeri
perikardial, napas pendek, lelah, merasa seperti akan pingsan, sukar tidur. Gejala-
gejala seperti ini sebagian besar merupakan manifestasi gangguan kecemasan.
2.
Sistem pernafasan
a.
Asma bronkialis
Faktor
genetik, alergik, infeksi, stres akut dan kronis semuanya berperan dalam
menimbulkan penyakit. Stimuli emosi bersama dengan alergi penderita menimbulkan
konstriksi bronkioli bila sistem saraf vegetatif juga tidak stabil dan mudah
terangsang. Walaupun pasien asma karateristiknya memiliki kebutuhan akan
ketergantungan yang berlebihan, tidak ada tipe kepribadian yang spesifik yang
telah diindentifikasi. Pasien asmatik harus diterapi dengan melibatkan berbagai
disiplin ilmu antara lain menghilangkan stres, penyesuaian diri, menghilangkan
alergi serta mengatur kerja sistem saraf vegetatif dengan obat-obatan.
b.
Sindroma hiperventilasi
Sindroma
hiperventilasi disebut juga dispneu nerveous (freud), pseudo asma, distonia
pulmonal (hochrein). Gambaran klinis berupa:
·
Parastesia, terutama pada ujung tangan dan kaki
·
Gejala-gejala sentral seperti gangguan penglihatan berupa mata kabur yang
dikenal sebagai Blury eyes. Penderita juga mengeluh bingung, sakit kepala dan
pusing
·
Keluhan pernafasan seperti dispneu, takipneu, batuk kering, sesak dan perasaan
tidak dapat bernafas bebas
·
Keluhan jantung. Sering dijumpai kelainan yang menyerupai angina pektoris dan
juga ditemukan pada kelainan fungsional jantungdan sirkulasi
·
Keluhan umum, seperti kaki dan tangan dingin yang sangat menganggu, cepat
lelah, lemas, mengantuk, dan sensitif terhadap cuaca
c.
Tuberkulosis
Onset
dan perburukan tuberkulosis sering kali berhubungan dengan stres akut dan
kronis. Faktor psikologis mempengaruhi sistem kekebalan dan mungkin
mempengaruhi daya tahan pasien terhadap penyakit. Psikoterapi suportif adalah berguna
karena peranan stres dan situasi psikososial yang rumit
3. Sistem endokrin
a.
Hipertiroidisme
Hipertiroidisme
(tirotoksikosis) adalah suatu sindroma yang ditandai oleh perubahan biokimiawi
dan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari kelebihan hormon tiroid endogen
atau eksogen yang kronis. Gejala medis yang sering muncul berupa intoleransi
panas, keringat berlebihan, diare, penurunan berat badan, takikardi, palpitasi
dan muntah. Gejala dan keluhan psikiatrik yang muncul antara lain ketegangan,
eksitabilitas, iritabilitas, bicara tertekan, insomnia, mengekspresikan rasa
takut yang berlebihan terhadap ancaman kematian.
b.
Diabetes melitus
Diabetes
melitus adalah suatau gangguan metabolisme dan sistem vaskuler yang
dimanifestasikan oleh gangguan penanganan glukosa, lemak, dan protein tubuh.
Riwayat herediter dan keluarga sangat penting dalam onset diabetes. Onset yang
mendadak sering kali berhubungan dengan stres emosional yang mengganggu
keseimbangan homeostatik pasien yang terpredisposisi. Meninger berpendapat
bahwa ada hubungan antara psikoneurotik dengan diabetes, dengan alasan:
Jelas
adanya gangguan mental sebelum timbulnya penyakit diabetes.
Gangguan
mental yang lain dari gejala mental yang timbul pada penyakit hati atau
hipoglikemi
Penyembuhan
gangguan mental pararel dengan keadaan kadar gula darah
Gangguan
metabolisme karbohidrat dan glukosuria membaik dengan diet
Dengan
sembuhnya gangguan mental, diabetes juga membaik
Menurut
Meninger ada 3 gangguan mental yang dijumpai pada diabetes:
Depresi
Anxietas
Fatik
(letih)
c.
Gangguan endokrin wanita
Premenstrual
syndrome (PMS), ditandai oleh perubahan subjektif mood, rasa kesehatan fisik,
dan psikologis umum yang berhubungan dengan siklus menstruasi. Secara khusus,
perubahan kadar estrogen, progesteron, dan prolactin dihipotesiskan berperan
penting sebagai penyebab. Gejala biasanya dimulai segera setelah ovulasi,
meningkat secara bertahap, dan mencapai intensitas maksimum kira-kira lima hari
sebelum periode menstruasi dimulai. Faktor psikososial, dan biologis telah
terlibat didalam patogenesis gangguan. Penderitaan menopause (menopause
distress), adalah suatu keadaan yang terjadi setelah tidak adanya periode
menstruasi selama satu tahun yang disebut menopause. Banyak gejala psikologis
yang dihubungkan dengan menopause, termasuk kecemasan, kelelahan, ketegangan,
labilitas emosional, mudah marah (iritabilitas), depresi, pening, dan insomnia.
Tanda dan gejala fisik adalah keringat malam, muka kemerahan, dan kilatan panas
(hot flash). keadaan ini kemungkinan berhubungan dengan sekresi luteinizing
hormone (LH). Fungsi yang tergantung pada estrogen hilang secara berurutan, dan
wanita mungkin mengalami perubahan atrofik pada permukaan mukosa, disertai oleh
vaginitis, pruritus, dispareunia, dan stenosis.
Wanita
mungkin juga mengalami perubahan dalam metabolisme kalsium dan lemak,
kemungkinan sebagai efek sekunder dari penurunan kadar estrogen, dan perubahan
tersebut mungkin disertai oleh sejumlah masalah medis yang terjadi pada
tahun-tahun pasca menopause, seperti osteoporosis dan aterosklerosis koroner. Keparahan
gejala menopause tampaknya berhubungan dengan kecepatan pemutusan hormon,
jumlah deplesi hormon, kemampuan konstitusional wanita untuk menahan proses
ketuaan, kesehatan, dan tingkat aktivitas mereka, serta arti psikologis ketuaan
bagi mereka. Kesulitan psikiatrik yang bermakna secara klinis dapat berkembang
selama siklus kehidupan fase involusional. Wanita yang sebelumnya mengalami
kesulitan psikologis, seperti harga diri yang rendah dan kepuasan hidup yang
rendah, kemungkinan rentan terhadap kesulitan selama menopause.
4. Gangguan kekebalan
a.
Penyakit infeksi
Penelitian
klinis menyatakan bahwa variabel psikologis mempengaruhi kecepatan pemulihan
dari mononukleosis infeksius dan influensa. Stres dan keadaan psikologis yang
buruk menurunkan daya tahan terhadap tuberkulosis dan mempengaruhi perjalanan
penyakit. Dengan demikian perkembangan penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan
psikologis orang.
b.
Gangguan alergi
Bukti
klinis menyatakan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan pencetus alergi.
Asma bronkial adalah contoh utama proses patologis yang melibatkan
hipersensitifitas segera yang berhubungan dengan proses psikososial.
c.
Transplantasi organ
Pengaruh
psikososial seperti kehidupan yang penuh dengan stres, kecemasan dan depresi
mempengaruhi sistem kekebalan yang berperan dalam mekanisme penolakan
transpalantasi organ.
5. Kanker
a.
Masalah pasien
Reaksi
psikologis mereka adalah rasa takut akan kematian, cacat, ketidakmampuan, rasa
takut diterlantarkan dan kehilangan kemandirian, rasa takut diputuskan dari
hubungan, fungsi peran dan finansial, kecemasan, kemarahan, dan rasa bersalah.
Setengah dari pasien kanker menderita gangguan mental berupa gangguan
penyesuaian 68%, gangguan depresi berat 13% dan delirium 8%. Pada pasien kanker
sering ditemukan pikiran dan keinginan bunuh diri.
b.
Masalah yang berkaitan dengan pengobatan
-
Terapi radiasi
Efek
samping terapi radiasi adalah ensefalopati yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan intrakranial.
-
Kemoterapi
Efek
samping kemoterapi berupa mual dan muntah
-
Rasa sakit
Pasien
kanker dengan rasa sakit memiliki insidensi depresi dan kecemasan yang lebih
tinggi dibanding mereka yang tanpa rasa sakit.
c.
Masalah keluarga
Kecemasan
dan depresi dalam anggota keluarga memerlukan intervensi yang aktif. Keluarga
harus memberikan pelayanan untuk pasien.
6. Gangguan kulit
a.
Pruritus menyeluruh
Pruritus
psikogenik menyeluruh adalah tidak ada penyebab organik. kemarahan yang
terekspresi dan kecemasan yang terekspresi merupakan penyebab paling sering,
karena secara disadari atau tidak mereka menggaruk dirinya sendiri secara
kasar.
b.
Pruritus setempat
·
Pruritus ani
·
Pruritus vulva
c.
Hiperhidrosis
Hiperhidrosis
dipandang sebagai fenomena kecemasan yang diperantarai oleh sistem saraf
otonom. Ketakutan, kemarahan dan ketegangan dapat menyebabkan meningkatnya
sekresi keringat, karena manusia memiliki 2 mekanisme berkeringat yaitu termal
dan emosional. Berkeringat emosional terutama tampak pada telapak tangan,
telapak kaki dan aksila. Berkeringat termal paling jelas pada dahi, leher,
punggung tangan dan lengan bawah.
7. Nyeri kepala
a.
Migren
Migren
adalah ganguan paroksismal yang ditandai oleh nyeri kepala rekuren, dengan atau
tanpa gangguan visual dan gastrointestinal. 2/3 pasien memiliki riwayat
gangguan yang sama. Kepribadian obsesional yang jelas terkendali dan perfeksionistik,
yang menekan marah, dan yang secara genetik berpresdisposisi pada migren
mungkin menderita nyeri kepala tersebut1 Mekanisme terjadinya migren
psikosomatis berupa:
vasospasme arteri serebri
distensi arteri karotis eksterna
edema dinding arteri
Pada
periode prodromal migren paling baik diobati dengan Ergotamine, Tartrate
(Cafergot), dan analgetik. Psikoterapi bermanfaat untuk menghilangkan efek
konflik dan stres.
b.
Tension ( kontraksi otot)
Terjadi
pada 80% populasi selama perode stres emosional. Kepribadian tipe A yang
tegang, berjuang keras dan kompetitif peka terhadap gangguan ini. Stres emosional
sering kali disertai kontraksi otot kepala dan leher yang lama melebihi beberapa
jam dapat menyempitkan pembuluh darah yang menyebabkan iskemia. Gejalanya
berupa nyeri tumpul dan berdenyut dimulai pada sub ocipitalis yang menyebar
keseluruh kepala. Kulit kepala nyeri terhadap sentuhan, biasanya bilateral dan
tidak disertai gejala prodromal seperti mual dan muntah. Onset cenderung pada
sore dan malam hari. Pada stadium awal dapat diberikan anti ansietas, pelemas
otot dan pemijatan atau aplikasi panas pada kepala dan leher. Jika terdapat
depresi yang mendasari anti depresan perlu diberikan. Jika kronis psikoterapi
merupakan terapi pilihan
Biasanya
penderita datang kepada dokter dengan keluhan-keluhan, tetapi tidak didapatkan
penyakit atau diagnosis tertentu, namun selalu disertai dengan keluhan dan
masalah. Pada 239 penderita dengan gangguan psikogenik Streckter telah
menganalisis gejala yang paling sering didapati yaitu 89% terlalu memperhatikan
gejala-gejala pada badannya dan 45% merasa kecemasan, oleh karena itu pada
pasien psikosomatis perlu ditanyakan beberapa faktor yaitu:
1.
Faktor sosial dan ekonomi, kepuasan dalam pekerjaan, kesukaran ekonomi,
pekerjaan yang tidak tentu, hubungan dengan dengan keluarga dan orang lain,
minatnya, pekerjaan yang terburu-buru, kurang istirahat.
2.
Faktor perkawinan, perselisihan, perceraian dan kekecewaan dalam hubungan
seksual, anak-anak yang nakal dan menyusahkan.
3.
Faktor kesehatan, penyakit-penyakit yang menahun, pernah masuk rumah sakit,
pernah dioperasi, adiksi terhadap obat-obatan, tembakau.
4.
Faktor psikologik, stres psikologik, keadaan jiwa waktu dioperasi, waktu
penyakit berat, status didalam keluarga dan stres yang timbul.
Quirido
membagi cara pemeriksaan dalam 3 lapangan:
a.
Lapangan psikis
b.
Lapangan sosial
c.
Lapangan somatis
Yang
ditujukan pada lapangan kejiwaan dinamakan psikoterapi indentik. Yang ditujukan
pada lapangan sosial dan somatik disebut psikoterapi non identik, yang terdiri
dari pemeriksaan fisik, mengobati kelainan fisik dengan obat, memperbaiki kondisi
sosial ekonomi, lingkungan, kebiasaan hidup sehat.
Di
Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum tidak
mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai gangguan organik tetapi
keluhannya berlebihan.
Dengan
kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan psikosomatik dapat
ditolong. Kita dapat menerangkan kepada penderita tidak dapat sesuatu dalam
tubuhnya yang rusak atau yang kurang, tidak terdapat infeksi dan kanker, hanya
anggota tubuhnya bekerja tidak teratur. Untuk menerangkan bagaimana emosi dapat
mengganggu tubuh dapat diambil contoh sehari-hari seperti orang yang malu
mukanya akan menjadi merah, orang yang takut menjadi bergemetar dan pucat.
Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan pengetahuan penderita.
Cara
Pengobatan Psikosomatis
Pengobatan
gangguan psikosomatik pada dasarnya harus dilakukan dengan beberapa cara dengan
mempertimbangkan pengobatan somatis (berorientasi pada organ tubuh yang
mengalami gangguan), pengobatan secara psikologis (psikoterapi) serta
psikofarmakoterapi (penggunaan obat-obatan yang berhubungan dengan psikologi).
Metode mana yang kemudian dipilih oleh dokter sangat tergantung pada jenis
kasus dan faktor-faktor yang terkait dengannya.
Seringkali
pengobatan psikosomatis hanya bersifat simptomatis (berdasarkan gejala yang
timbul), sehingga penyakit ini sering berulang dan dapat berlangsung
bertahun-tahun. Hal ini dapat terjadi karena sebenarnya etiologi utama dari
penyakit ini belum diketahui atau tidak dicari dan terlebih karena memang
terdiri dari banyak faktor yang saling terkait (khususnya faktor psikologis).
Memang pada kasus-kasus yang berat, gejala penyakit akan hilang dengan
pemberian obat-obat simptomatis karena gangguan psikologis sudah berkembang
sehingga penyakit somatis (penyakit yang didasari oleh adanya gangguan pada
organ tubuh) yang lebih mendominasi.
Pada
kasus tahap awal, biasanya pengobatan hanya ditujukan kepada faktor somatis
(fisik). Hal ini dapat menyebabkan penyakit timbul kembali dan yang lebih parah
akan menurunkan kepercayaan pasien akan kemungkinan penyakitnya sembuh yang
sebenarnya akan memperparah kelainan psikosomatiknya sendiri. Akan tetapi
memang agak sulit untuk membedakannya dengan gangguan psikosomatis sehingga
baru dapat dibedakan bila kejadiannya telah berulang. Disinilah perlunya
psikoterapi sebagai pendamping terapi somatik.
Sebagaimana
telah sering diuraikan, hubungan antara penyakit somatik dan kondisi psikologis
seseorang sangatlah erat sehingga dapat memungkinkan terjadinya interaksi
antara keduanya. Masalah yang
menyebabkan seseorang datang ke dokter yang berhubungan dengan kondisi
psikologisnya dapat berhubungan dengan dua hal, yaitu masalah yang tampaknya
berhubungan dengan masalah pasien di masa lalu atau masalah yang tampaknya
berasal dari stres dan tekanan masa sekarang yang melebihi pengendalian sadar
pasien. Atau dapat pula terjadi kombinasi dari kedua masalah tersebut.
Psikoterapi bertujuan untuk menggali masalah-masalah psikologis yang
tersembunyi pada pasien dengan harapan setelah masalah-masalah tersebut
disingkirkan, keluhan fisik pasien dapat turut hilang.
Pada
keadaan tertentu dimana terapi somatik dan psikoterapi telah dilakukan tetapi
penyakit masih menetap atau terus berulang perlu dipertimbangkan penggunaan
psikofarmaka (obat-obat yang biasa digunakan dalam bidang psikologi) karena
mungkin gangguan psikologis yang diderita berhubungan dengan kondisi kimiawi di
otak yang mengalami ketidakseimbangan.
Obat-obatan
ini (Psikofarmaka) bekerja pada gangguan psikosomatik dengan mempengaruhi afek
(perasaan) dan emosi serta fungsi vegetatif yang berkaitan. Terapi jenis ini
dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mengobati atau mengoreksi
perilaku, pikiran, atau mood (keinginan) yang mengalami gangguan akibat perubahan
zat kimia atau cara fisik lainnya. Hubungan antara keadaan fisik tubuh dengan
otak pada satu sisi dan pengaruhnya pada sisi lain sangatlah kompleks dan
belumlah dimengerti seluruhnya. Tetapi berbagai parameter normal dan abnormal
seperti persepsi, perasaan dan kognisi (kemampuan berfikir) mungkin dipengaruhi
oleh adanya perubahan fisik dalam sistem saraf pusat walaupun dalam jumlah
sangat minimal.
Karena
tidak lengkapnya pengetahuan tentang otak dan gangguan yang mempengaruhinya,
terapi obat gangguan mental adalah bersifat empiris (bukti yang didapatkan
setelah pemberian obat). Namun demikian, banyak terapi organik yang langsung
memperbaiki kelainan pada otak telah terbukti sangat efektif dan merupakan
terapi pilihan untuk kondisi tertentu.
Pada
dasarnya psikofarmaka bekerja lebih intensif pada penyakit psikosomatik
daripada obat lokal simtomatis tetapi kurang spesifik dibanding obat tersebut
karena pada umumnya tidak mempengaruhi faktor etiologisnya.
Golongan
obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah Obat Tidur, Obat Penenang,
dan Antidepresan. Penggunaan jenis obat ini perlu pengawasan yang ketat karena
seringkali menimbulkan efek samping seperti ketergantungan psikologis dan fisik
yang dapat mengakibatkan keracunan obat, depresi dan kehilangan sifat menahan
diri, gangguan paru-paru, gangguan psikomotoris dan iritatif (mudah marah,
gelisah dan ansietas bila obat dihentikan).
Source: link
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.