Desember 30, 2012

Gangguan psikosomatis




Gangguan psikosomatis adalah faktor psikologis yang merugikan, mempengaruhi kondisi medis pasien. Faktor psikologis tersebut dapat berupa gangguan mental, gejala psikologis, sifat kepribadian atau gaya mengatasi masalah, dan prilaku kesehatan yang mal-adaptif.
Gangguan psikosomatik ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-gejala yang menyerupai penyakit fisik dan diyakini adanya suatu hubungan yang erat antara suatu peristiwa psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-gejala tersebut.
Para pakar kedokteran psikosomatis menyadari kesatuan dari pikiran dan tubuh serta interaksi diantara keduanya, dimana faktor psikologis penting dalam perkembangan semua penyakit, namun apakah peranannya dalam memulai, perkembangan, memperberat dan eksaserbasi penyakit, predisposisi atau reaksi terhadap suatu penyakit masih dalam perdebatan.

Pengertian Psikosomatis
Psiko artinya pikiran dan soma artinya tubuh. Jadi, penyakit psikosomatis artinya penyakit yang timbul atau disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang. Penyakit ini juga disebut dengan penyakit akibat stress. Penyakit psikosomatis sekarang sering disebut dengan penyakit psikofisologis. Namanya saja yang sedikit berbeda namun maknanya sama.
Gangguan psikosomatik ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-gejala yang menyerupai penyakit fisik dan diyakini adanya suatu hubungan yang erat antara suatu peristiwa psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-gejala tersebut. Gangguan psikosomatik ini banyak ditemukan pada praktek dokter sehari-hari; namun gangguan ini sering kali diabaikan dan bahkan dilupakan. Biasanya penderita datang dengan beraneka macam keluhan somatik mulai dari keluhan jantung, keluhan sakit perut seperti nyeri ulu hati, kembung,mual diare(keluhan gastrointestinal), keluhan sakit kepala dan lain-lain. Ditempat praktek dokter sehari-hari banyak pasien hanya menonjolkan keluhan-keluhan somatik saja tanpa menyertakan keluhan-keluhan psikisnya. Jarang sekali faktor psikis(emosi) seperti fristasi, konflik, ketegangan dsb dikemukakan sebagai keluhan utama oleh penderita, padahal faktor psikis tersebut yang memicu munculnya keluhan fisik penderita. Prevalensi gangguan psikosomatik cukup tinggi yaitu 16,1-21,9%, bahkan Fink et al menemukan sampai 30,3%.
 Untuk mempertajam diagnosis dan untuk membatasi diri dari gangguan psikiatri yang berat(misalnya psikosis), maka gangguan psikosomatik memiliki ciri-ciri dan kriteria klinis sebagai berikut :
 Tidak didapatkan kelainan psikiatris. Penderita masih sadar bahwa dirinya sakit dan masih aktif mau datang berobat.
 Keluhan yang timbul selalu berhubungan dengan emosi tertentu. Misalnya  keluhan timbul saat berad di kantor sedangkan di rumah tidak apa-apa.
 Keluhan berganti-ganti dari satu sistim organ ke sistim organ lain. Misalnya hari ini keluhan pada sistim kardiovaskular beberapa minggu kemudian hilang dan pindah ke sistim gastrointestinal.
 Ditemukan adanya ketidakseimbangan sistim syaraf otonom vegetatif.
 Riwayat hidup penderita penuh dengan konflik atau stres.
 Terdapat perasaan negatif yang menjadi titik tolaj keluhannya(dongkol, cemas, sedih, cemburu dsb)
 Terdapat faktor presipitasi atau pencetus yang mendahului segala keluhannya. Bisa berupa psikis atau fisik.
 Adanya faktor penyedia (predisposisi) yang diketahui dengan anamnesis jauh kebelakang sejak pasien dikandung, dilahirkan dan dibesarkan. Faktor predisposisi ini bisa berupa faktor biologis maupun perkembangan kejiwaan penderita tersbut.
 Apabila terdapat salah satu kriteria tersebut diatas, mungkin ada gangguan psikosomatik.

Penyebab psikosomatis
Ada beberapa penyebab dari gangguan psikosomatis:
1. Stres Umum
Stres ini dapat berupa suatu peristiwa atau suatu situasi kehidupan dimana individu tidak dapat berespon secara adekuat. Menurut Thomas Holmes dan Richard Rahe, didalam skala urutan penyesuaian kembali sosial (social read justment rating scale) menuliskan 43 peristiwa kehidupan yang disertai oleh jumlah gangguan dan stres pada kehidupan orang rata-rata, sebagai contohnya kematian pasangan 100 unit perubahan kehidupan, perceraian 73 unit, perpisahan  perkawinan 65 unit, dan kematian anggota keluarga dekat 63 unit. Skala dirancang setelah menanyakan pada ratusan orang dengan berbagai latar belakang untuk menyusun derajat relatif penyesuaian yang diperlukan olewh perubahan lingkungan kehidupan. Penelitian terakhir telah menemukan bahwa orang yang menghadapi stres umum secara optimis bukan secara pesimis adalah tidak cenderung mengalami gangguan psikosomatis, jika mereka mengalaminya mereka mudah pulih dari gangguan.
2. Stres Spesifik Lawan Non Spesifik
Stres psikis spesifik dan non spesifik dapat didefenisikan sebagai kepribadian spesifik atau konflik bawah sadar yang menyebabkan ketidakseimbangan homeostatis yang berperan dalam perkembangan gangguan psikosomatis. Tipe kepribadian tertentu yang pertama kali diidentifikasi berhubungan dengan kepribadian koroner (orang yang memiliki kemauan keras dan agresif yang cenderung mengalami oklusi miokardium).
3. Variabel Fisiologis
Faktor hormonal dapat menjadi mediator antara stres dan penyakit, dan variabel lainnya adalah kerja monosit sistem kekebalan. Mediator antara stres yang didasari secara kognitif dan penyakit mungkin hormonal, seperti pada sindroma adaptasi umum Hans Selye, dimana hidrokortison adalah mediatornya, mediator mungkin mengubah fungsi sumbu hipofisis anterior hipotalamus adrenal dan penciutan limfoit. Dalam rantai hormonal, hormon dilepaskan dari hipotalamus dan menuju hipofisis anterior, dimana hormon tropik berinteraksi secara langsung atau melepaskan hormon dari kelenjar endokrin lain. Variabel penyebab lainnya mungkin adalah kerja monosit sistem kekebalan. Monosit berinteraksi dengan neuropeptida otak, yang berperan sebagai pembawa pesan (messager) antara sel-sel otak. Jadi, imunitas dapat mempengaruhi keadaan psikis dan mood.

Gangguan Spesifik pada Psikosomatik

Ada beberapa gangguan spesifik yang dapat disebabkan oleh gangguan psikis:
1. Sistem Kardiovaskuler
Mekanisme yang terjadi pada psikosomatis dapat melalui rasa takut atau kecemasan yang akan mempercepat denyutan jantung, meninggikan daya pompa jantung dan tekanan darah, menimbulkan kelainan pada ritme dan EKG. Kehilangan semangat dan putus asa mengurangi frekuensi, daya pompa jantung dan tekanan darah. Gejala-gejala yang sering didapati antara lain: takikardia, palpitasi, aritmia, nyeri perikardial, napas pendek, lelah, merasa seperti akan pingsan, sukar tidur. Gejala- gejala seperti ini sebagian besar merupakan manifestasi gangguan kecemasan.
2. Sistem pernafasan
a. Asma bronkialis
Faktor genetik, alergik, infeksi, stres akut dan kronis semuanya berperan dalam menimbulkan penyakit. Stimuli emosi bersama dengan alergi penderita menimbulkan konstriksi bronkioli bila sistem saraf vegetatif juga tidak stabil dan mudah terangsang. Walaupun pasien asma karateristiknya memiliki kebutuhan akan ketergantungan yang berlebihan, tidak ada tipe kepribadian yang spesifik yang telah diindentifikasi. Pasien asmatik harus diterapi dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu antara lain menghilangkan stres, penyesuaian diri, menghilangkan alergi serta mengatur kerja sistem saraf vegetatif dengan obat-obatan.
b. Sindroma hiperventilasi
Sindroma hiperventilasi disebut juga dispneu nerveous (freud), pseudo asma, distonia pulmonal (hochrein). Gambaran klinis berupa:
· Parastesia, terutama pada ujung tangan dan kaki          
· Gejala-gejala sentral seperti gangguan penglihatan berupa mata kabur yang dikenal sebagai Blury eyes. Penderita juga mengeluh bingung, sakit kepala dan pusing
· Keluhan pernafasan seperti dispneu, takipneu, batuk kering, sesak dan perasaan tidak dapat bernafas bebas
· Keluhan jantung. Sering dijumpai kelainan yang menyerupai angina pektoris dan juga ditemukan pada kelainan fungsional jantungdan sirkulasi
· Keluhan umum, seperti kaki dan tangan dingin yang sangat menganggu, cepat lelah, lemas, mengantuk, dan sensitif terhadap cuaca
c. Tuberkulosis
Onset dan perburukan tuberkulosis sering kali berhubungan dengan stres akut dan kronis. Faktor psikologis mempengaruhi sistem kekebalan dan mungkin mempengaruhi daya tahan pasien terhadap penyakit. Psikoterapi suportif adalah berguna karena peranan stres dan situasi psikososial yang rumit
3.      Sistem endokrin
a. Hipertiroidisme
Hipertiroidisme (tirotoksikosis) adalah suatu sindroma yang ditandai oleh perubahan biokimiawi dan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari kelebihan hormon tiroid endogen atau eksogen yang kronis. Gejala medis yang sering muncul berupa intoleransi panas, keringat berlebihan, diare, penurunan berat badan, takikardi, palpitasi dan muntah. Gejala dan keluhan psikiatrik yang muncul antara lain ketegangan, eksitabilitas, iritabilitas, bicara tertekan, insomnia, mengekspresikan rasa takut yang berlebihan terhadap ancaman kematian.
b. Diabetes melitus
Diabetes melitus adalah suatau gangguan metabolisme dan sistem vaskuler yang dimanifestasikan oleh gangguan penanganan glukosa, lemak, dan protein tubuh. Riwayat herediter dan keluarga sangat penting dalam onset diabetes. Onset yang mendadak sering kali berhubungan dengan stres emosional yang mengganggu keseimbangan homeostatik pasien yang terpredisposisi. Meninger berpendapat bahwa ada hubungan antara psikoneurotik dengan diabetes, dengan alasan:
Jelas adanya gangguan mental sebelum timbulnya penyakit diabetes.
Gangguan mental yang lain dari gejala mental yang timbul pada penyakit hati atau hipoglikemi
Penyembuhan gangguan mental pararel dengan keadaan kadar gula darah
Gangguan metabolisme karbohidrat dan glukosuria membaik dengan diet
Dengan sembuhnya gangguan mental, diabetes juga membaik
Menurut Meninger ada 3 gangguan mental yang dijumpai pada diabetes:
Depresi
Anxietas
Fatik (letih)
c. Gangguan endokrin wanita
Premenstrual syndrome (PMS), ditandai oleh perubahan subjektif mood, rasa kesehatan fisik, dan psikologis umum yang berhubungan dengan siklus menstruasi. Secara khusus, perubahan kadar estrogen, progesteron, dan prolactin dihipotesiskan berperan penting sebagai penyebab. Gejala biasanya dimulai segera setelah ovulasi, meningkat secara bertahap, dan mencapai intensitas maksimum kira-kira lima hari sebelum periode menstruasi dimulai. Faktor psikososial, dan biologis telah terlibat didalam patogenesis gangguan. Penderitaan menopause (menopause distress), adalah suatu keadaan yang terjadi setelah tidak adanya periode menstruasi selama satu tahun yang disebut menopause. Banyak gejala psikologis yang dihubungkan dengan menopause, termasuk kecemasan, kelelahan, ketegangan, labilitas emosional, mudah marah (iritabilitas), depresi, pening, dan insomnia. Tanda dan gejala fisik adalah keringat malam, muka kemerahan, dan kilatan panas (hot flash). keadaan ini kemungkinan berhubungan dengan sekresi luteinizing hormone (LH). Fungsi yang tergantung pada estrogen hilang secara berurutan, dan wanita mungkin mengalami perubahan atrofik pada permukaan mukosa, disertai oleh vaginitis, pruritus, dispareunia, dan stenosis.
Wanita mungkin juga mengalami perubahan dalam metabolisme kalsium dan lemak, kemungkinan sebagai efek sekunder dari penurunan kadar estrogen, dan perubahan tersebut mungkin disertai oleh sejumlah masalah medis yang terjadi pada tahun-tahun pasca menopause, seperti osteoporosis dan aterosklerosis koroner. Keparahan gejala menopause tampaknya berhubungan dengan kecepatan pemutusan hormon, jumlah deplesi hormon, kemampuan konstitusional wanita untuk menahan proses ketuaan, kesehatan, dan tingkat aktivitas mereka, serta arti psikologis ketuaan bagi mereka. Kesulitan psikiatrik yang bermakna secara klinis dapat berkembang selama siklus kehidupan fase involusional. Wanita yang sebelumnya mengalami kesulitan psikologis, seperti harga diri yang rendah dan kepuasan hidup yang rendah, kemungkinan rentan terhadap kesulitan selama menopause.

4.      Gangguan kekebalan
a. Penyakit infeksi
Penelitian klinis menyatakan bahwa variabel psikologis mempengaruhi kecepatan pemulihan dari mononukleosis infeksius dan influensa. Stres dan keadaan psikologis yang buruk menurunkan daya tahan terhadap tuberkulosis dan mempengaruhi perjalanan penyakit. Dengan demikian perkembangan penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis orang.
b. Gangguan alergi
Bukti klinis menyatakan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan pencetus alergi. Asma bronkial adalah contoh utama proses patologis yang melibatkan hipersensitifitas segera yang berhubungan dengan proses psikososial.
c. Transplantasi organ
Pengaruh psikososial seperti kehidupan yang penuh dengan stres, kecemasan dan depresi mempengaruhi sistem kekebalan yang berperan dalam mekanisme penolakan transpalantasi organ.
5.      Kanker
a. Masalah pasien
Reaksi psikologis mereka adalah rasa takut akan kematian, cacat, ketidakmampuan, rasa takut diterlantarkan dan kehilangan kemandirian, rasa takut diputuskan dari hubungan, fungsi peran dan finansial, kecemasan, kemarahan, dan rasa bersalah. Setengah dari pasien kanker menderita gangguan mental berupa gangguan penyesuaian 68%, gangguan depresi berat 13% dan delirium 8%. Pada pasien kanker sering ditemukan pikiran dan keinginan bunuh diri.
b. Masalah yang berkaitan dengan pengobatan
- Terapi radiasi
Efek samping terapi radiasi adalah ensefalopati yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
- Kemoterapi
Efek samping kemoterapi berupa mual dan muntah
- Rasa sakit
Pasien kanker dengan rasa sakit memiliki insidensi depresi dan kecemasan yang lebih tinggi dibanding mereka yang tanpa rasa sakit.
c. Masalah keluarga
Kecemasan dan depresi dalam anggota keluarga memerlukan intervensi yang aktif. Keluarga harus memberikan pelayanan untuk pasien.
6.      Gangguan kulit
a. Pruritus menyeluruh
Pruritus psikogenik menyeluruh adalah tidak ada penyebab organik. kemarahan yang terekspresi dan kecemasan yang terekspresi merupakan penyebab paling sering, karena secara disadari atau tidak mereka menggaruk dirinya sendiri secara kasar.
b. Pruritus setempat
· Pruritus ani
· Pruritus vulva
c. Hiperhidrosis
Hiperhidrosis dipandang sebagai fenomena kecemasan yang diperantarai oleh sistem saraf otonom. Ketakutan, kemarahan dan ketegangan dapat menyebabkan meningkatnya sekresi keringat, karena manusia memiliki 2 mekanisme berkeringat yaitu termal dan emosional. Berkeringat emosional terutama tampak pada telapak tangan, telapak kaki dan aksila. Berkeringat termal paling jelas pada dahi, leher, punggung tangan dan lengan bawah.
7.      Nyeri kepala
a. Migren
Migren adalah ganguan paroksismal yang ditandai oleh nyeri kepala rekuren, dengan atau tanpa gangguan visual dan gastrointestinal. 2/3 pasien memiliki riwayat gangguan yang sama. Kepribadian obsesional yang jelas terkendali dan perfeksionistik, yang menekan marah, dan yang secara genetik berpresdisposisi pada migren mungkin menderita nyeri kepala tersebut1 Mekanisme terjadinya migren psikosomatis berupa:
 vasospasme arteri serebri
 distensi arteri karotis eksterna
 edema dinding arteri
Pada periode prodromal migren paling baik diobati dengan Ergotamine, Tartrate (Cafergot), dan analgetik. Psikoterapi bermanfaat untuk menghilangkan efek konflik dan stres.
b. Tension ( kontraksi otot)
Terjadi pada 80% populasi selama perode stres emosional. Kepribadian tipe A yang tegang, berjuang keras dan kompetitif peka terhadap gangguan ini. Stres emosional sering kali disertai kontraksi otot kepala dan leher yang lama melebihi beberapa jam dapat menyempitkan pembuluh darah yang menyebabkan iskemia. Gejalanya berupa nyeri tumpul dan berdenyut dimulai pada sub ocipitalis yang menyebar keseluruh kepala. Kulit kepala nyeri terhadap sentuhan, biasanya bilateral dan tidak disertai gejala prodromal seperti mual dan muntah. Onset cenderung pada sore dan malam hari. Pada stadium awal dapat diberikan anti ansietas, pelemas otot dan pemijatan atau aplikasi panas pada kepala dan leher. Jika terdapat depresi yang mendasari anti depresan perlu diberikan. Jika kronis psikoterapi merupakan terapi pilihan
Biasanya penderita datang kepada dokter dengan keluhan-keluhan, tetapi tidak didapatkan penyakit atau diagnosis tertentu, namun selalu disertai dengan keluhan dan masalah. Pada 239 penderita dengan gangguan psikogenik Streckter telah menganalisis gejala yang paling sering didapati yaitu 89% terlalu memperhatikan gejala-gejala pada badannya dan 45% merasa kecemasan, oleh karena itu pada pasien psikosomatis perlu ditanyakan beberapa faktor yaitu:
1. Faktor sosial dan ekonomi, kepuasan dalam pekerjaan, kesukaran ekonomi, pekerjaan yang tidak tentu, hubungan dengan dengan keluarga dan orang lain, minatnya, pekerjaan yang terburu-buru, kurang istirahat.
2. Faktor perkawinan, perselisihan, perceraian dan kekecewaan dalam hubungan seksual, anak-anak yang nakal dan menyusahkan.
3. Faktor kesehatan, penyakit-penyakit yang menahun, pernah masuk rumah sakit, pernah dioperasi, adiksi terhadap obat-obatan, tembakau.
4. Faktor psikologik, stres psikologik, keadaan jiwa waktu dioperasi, waktu penyakit berat, status didalam keluarga dan stres yang timbul.
Quirido membagi cara pemeriksaan dalam 3 lapangan:
a. Lapangan psikis
b. Lapangan sosial
c. Lapangan somatis
Yang ditujukan pada lapangan kejiwaan dinamakan psikoterapi indentik. Yang ditujukan pada lapangan sosial dan somatik disebut psikoterapi non identik, yang terdiri dari pemeriksaan fisik, mengobati kelainan fisik dengan obat, memperbaiki kondisi sosial ekonomi, lingkungan, kebiasaan hidup sehat.
Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum tidak mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai gangguan organik tetapi keluhannya berlebihan.
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan psikosomatik dapat ditolong. Kita dapat menerangkan kepada penderita tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang kurang, tidak terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur. Untuk menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat diambil contoh sehari-hari seperti orang yang malu mukanya akan menjadi merah, orang yang takut menjadi bergemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan pengetahuan penderita.

 Cara Pengobatan Psikosomatis
Pengobatan gangguan psikosomatik pada dasarnya harus dilakukan dengan beberapa cara dengan mempertimbangkan pengobatan somatis (berorientasi pada organ tubuh yang mengalami gangguan), pengobatan secara psikologis (psikoterapi) serta psikofarmakoterapi (penggunaan obat-obatan yang berhubungan dengan psikologi). Metode mana yang kemudian dipilih oleh dokter sangat tergantung pada jenis kasus dan faktor-faktor yang terkait dengannya. 
Seringkali pengobatan psikosomatis hanya bersifat simptomatis (berdasarkan gejala yang timbul), sehingga penyakit ini sering berulang dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Hal ini dapat terjadi karena sebenarnya etiologi utama dari penyakit ini belum diketahui atau tidak dicari dan terlebih karena memang terdiri dari banyak faktor yang saling terkait (khususnya faktor psikologis). Memang pada kasus-kasus yang berat, gejala penyakit akan hilang dengan pemberian obat-obat simptomatis karena gangguan psikologis sudah berkembang sehingga penyakit somatis (penyakit yang didasari oleh adanya gangguan pada organ tubuh) yang lebih mendominasi. 
Pada kasus tahap awal, biasanya pengobatan hanya ditujukan kepada faktor somatis (fisik). Hal ini dapat menyebabkan penyakit timbul kembali dan yang lebih parah akan menurunkan kepercayaan pasien akan kemungkinan penyakitnya sembuh yang sebenarnya akan memperparah kelainan psikosomatiknya sendiri. Akan tetapi memang agak sulit untuk membedakannya dengan gangguan psikosomatis sehingga baru dapat dibedakan bila kejadiannya telah berulang. Disinilah perlunya psikoterapi sebagai pendamping terapi somatik. 
Sebagaimana telah sering diuraikan, hubungan antara penyakit somatik dan kondisi psikologis seseorang sangatlah erat sehingga dapat memungkinkan terjadinya interaksi antara keduanya.  Masalah yang menyebabkan seseorang datang ke dokter yang berhubungan dengan kondisi psikologisnya dapat berhubungan dengan dua hal, yaitu masalah yang tampaknya berhubungan dengan masalah pasien di masa lalu atau masalah yang tampaknya berasal dari stres dan tekanan masa sekarang yang melebihi pengendalian sadar pasien. Atau dapat pula terjadi kombinasi dari kedua masalah tersebut. Psikoterapi bertujuan untuk menggali masalah-masalah psikologis yang tersembunyi pada pasien dengan harapan setelah masalah-masalah tersebut disingkirkan, keluhan fisik pasien dapat turut hilang. 
Pada keadaan tertentu dimana terapi somatik dan psikoterapi telah dilakukan tetapi penyakit masih menetap atau terus berulang perlu dipertimbangkan penggunaan psikofarmaka (obat-obat yang biasa digunakan dalam bidang psikologi) karena mungkin gangguan psikologis yang diderita berhubungan dengan kondisi kimiawi di otak yang mengalami ketidakseimbangan. 
Obat-obatan ini (Psikofarmaka) bekerja pada gangguan psikosomatik dengan mempengaruhi afek (perasaan) dan emosi serta fungsi vegetatif yang berkaitan. Terapi jenis ini dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mengobati atau mengoreksi perilaku, pikiran, atau mood (keinginan) yang mengalami gangguan akibat perubahan zat kimia atau cara fisik lainnya. Hubungan antara keadaan fisik tubuh dengan otak pada satu sisi dan pengaruhnya pada sisi lain sangatlah kompleks dan belumlah dimengerti seluruhnya. Tetapi berbagai parameter normal dan abnormal seperti persepsi, perasaan dan kognisi (kemampuan berfikir) mungkin dipengaruhi oleh adanya perubahan fisik dalam sistem saraf pusat walaupun dalam jumlah sangat minimal.
Karena tidak lengkapnya pengetahuan tentang otak dan gangguan yang mempengaruhinya, terapi obat gangguan mental adalah bersifat empiris (bukti yang didapatkan setelah pemberian obat). Namun demikian, banyak terapi organik yang langsung memperbaiki kelainan pada otak telah terbukti sangat efektif dan merupakan terapi pilihan untuk kondisi tertentu. 
Pada dasarnya psikofarmaka bekerja lebih intensif pada penyakit psikosomatik daripada obat lokal simtomatis tetapi kurang spesifik dibanding obat tersebut karena pada umumnya tidak mempengaruhi faktor etiologisnya.
Golongan obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah Obat Tidur, Obat Penenang, dan Antidepresan. Penggunaan jenis obat ini perlu pengawasan yang ketat karena seringkali menimbulkan efek samping seperti ketergantungan psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan keracunan obat, depresi dan kehilangan sifat menahan diri, gangguan paru-paru, gangguan psikomotoris dan iritatif (mudah marah, gelisah dan ansietas bila obat dihentikan).

Source: link

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.