Gangguan
Somatoform adalah gangguan yang bersifat psikologis, tetapi tampil dalam bentuk
gangguan fisik yang melibatkan pola neurotic yang didasari anxiety. Individu
mengeluh simtom simtom jasmaniah yang memberikan tanda seolah olah ada masalah
fisik, tapi pada kenyataannya tidak ada landasan organis yang ditemukan.
Gangguan
somatoform merupakan kelompok gangguan yang meliputi symptom fisik (misalnya
nyeri, mual, dan pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara medis.
Berbagai symptom dan keluhan somatik tersebut cukup serius sehingga menyebabkan
stress emosional dan gangguan dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam
kehidupan sosial dan pekerjaan. Diagnosis ini diberikan apabila diketahui bahwa
faktor psikologis memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi
tingkat keparahan serta lamanya gangguan dialami (oleh Kaplan, Sadock, &
Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa 2007)
Pada
bagian ini akan dibahas tentang berbagai gangguan somatoform, antara lain
gangguan somatisasi., hipokondriasis, gangguan konversi, dan gangguan
dismorfik.
Gangguan Somatisasi
Gangguan
somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik berbagai keluhan atau gejala
somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat dengan menggunakan hasil
pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Diagnosis gangguan somatisasi digunakan
untuk individu-individu yang banyak menagalami keluhan-keluhan somatic,
berulang-ulang dan berlangsung lama, yang jelas bukan karena suatu penyebab
fisik yang actual. Individu-individu dengan gangguan ini menolak pandangan
bahwa penyebab dari keluhan-keluhan mereka adalah factor psikologis dan mereka
tetap mencari pengobatan.
Gangguan
ini sifatnya kronis (muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30
tahun), dan berhubungan dengan stres psikologis yang signifikan, hendaya dalam
kehidupan sosial dan pekerjaan, serta perilaku mencari pertolongan medis yang
berlebihan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal
Klinis Dewasa 2007).
Adapun
menurut DSM IV gejala-gejala yang muncul harus meliputi (APA, 1994):
1.
Empat simtom nyeri pada lokasi yang berbeda
(misalnya kepala, pundak, lutut, kaki).
2.
Dua simtom gastrointestinal (misalnya diare,
mual)
3.
Satu simtom seksual yang berbeda dan rasa sakit/
nyeri (misalnya ketidakmampuan ereksi)
4.
Satu simtom pseudoneurologis seperti pada
gangguan konversi, Menurut Davison & Neale (2001) dalam buku Psikologi
Abnormal Klinis Dewasa 2007, gangguan
ini diduga terjadi karena pasien terlalu sensitif dengan sensasi fisik, terlalu
berlebihan dalam memperhatikan sensasi tersebut, atau menginterpretasikannya
secara berlebihan. Pandangan behavioral menganggap bahwa gangguan ini adalah
manifestasi kecemasan yang tidak realistis pada sistem ketubuhan.
Hipokondriasis
Hipokondriasis
merupakan kondisi kecemasan yang kronis dimana pendrita selalu merasa ketakutan
yang patologik terhadap kesehatannya sendiri. Penderita merasa yakin sekali
bahwa dirinya mengidap penyakit yang parah (serius). Hipokondriasis adalah
hasil interpretasi pasien yang tidak realistis dan tidak akurat terhadap simtom
atau sensasi, sehingga mengarah pada preokupasi dan ketakutan bahwa mereka
memiliki gangguan yang parah bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang
diteniukan. Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang serius dan belum
dapat dideteksi, dan tidak dapat dibantah dengan menunjukkan kebalikannya
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa
2007).
Dikutib
dari buku Mengenal Perilaku Abnormal, Dr.A. Supratiknya.. Penyebab hipokondriasis
dapat bermacam-macam, antara lain:
1.
Perhatian yang berlebihan pada fungsi-fungsi
tubuh di masa kecil, entah karena meniru orang tua atau karena pernah sakit
keras sehingga menjadikan yang bersangkutan pusat perhatian di keluarganya.
Dengan kata lain, hipokondriasis merupakan gangguan khas orang-orang yang haus
perhatian dari orang lain.
2.
Frustasi tertentu sebagai faktor pencetus.
Misalnya, seorang gadis yang tiba-tiba mengeluh menderita macam-macam penyakit
sesudah putus hubungan dengan tunangannya.
3.
Perkuatan yang diperoleh dari lingkungan sosial.
Misalnya, karena mendapatkan pengalaman yang menyenangkan waktu menderita
sakit, selanjutnya seorang anak mulai mengeluh menderita macam-macam penyakit
setiap kali menghadapi tantangan hidup.
Konversi
Dalam
kasus-kasus gangguan konversi, individu menderita satu atau lebih simtom fisik
yang berat dan yang sangat melumpuhkan, tetapi dasar organik dari gangguan ini
tidak ditemukan. Simtom-simtom konversi biasa biasanya terjadi pada sistem otot
kerangka atau pada sistem-sistem panca indra. Sering kali simtom simtom
konversi yag disebutkan adalah kelumpuhan, serangan serangan mendadak
,kebutuaan, ketulian, masalah-masalah penglihatan, anestesia atau prestesia.
Munculnya
satu atau beberapa simtom neurologis (misalnya buta, lumpuh, dll) yang tidak
dapat dijelaskan dengan penjelasan medis maupun neurologis yang ada. Pada
gangguan mi faktor psikologis berkaitan erat dengan awal dan keparahan
gangguan. Menurut Davison & Neale (2001), pasien mungkin mengalami anesthesia,
yaitu kelumpuhan-sebagian atau seluruhnya-pada tangan atau kaki, gangguan
koordinasi dan kejang, rasa kesemutan, seperti digelitik, atau seperti ada
sesuatu yang merambat pada kulit, tidak sensitif terhadap rasa sakit (kebal),
serta kehilangan atau gangguan sensasi. Pasien juga mungkin mengalami gangguan
penglihatan, misalnya tunnel vision (lapangan pandangan menjadi terbatas atau
menyempit), aphonia (kehilangan suara), anosmia (kehilangan atau hendaya dalam
kemampuan penciuman), dll
Dalam
sejarah orang-orang yang mengalami gangguan konversi ditemukan frustrasi yang
cukup berat terhadap kebutuhan-kebutuhan, terutama kebutuhan akan status.
Pribadi yang mengalami gangguan konversi pada umumnya membutuhkan status dan
keinginannya dalam hal ini begitu kuat meskipun jarang sekali terpenuhi.
Akibatnya, ia terus-menerus mengalami frustrasi. Tegangan yang timbul sebagai
akibat dari frustrasi dan konflik memaksa individu tersebut melarikan diri.
Pada
masa lampau, konversi ini dikenal dengan istiiah hysteria. Gangguan ini
biasanya mulai pada masa remaja atau dewasa muda, terutama setelah mereka
mengalami stres dalam kehidupan. Prevaiensinya sekitar 22 orang per 100.000
penduduk, dengan penderita perempuan 2 kali iebih banyak dibandingkan laki-laki
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis
Dewasa). Pada gangguan mi pasien mungkin menampilkan apa yang disebut Ia belle
indifference, yaitu sikap tidak peduli atau tidak menunjukkan perhatian
terhadap penyakitnya. Namun perilaku mi juga tidak seiaiu muncul pada semua
penderita konversi.
Davison
& Neale (2001) mengemukakan beberapa pandangan mengenai etiologi gangguan
konversi. Menurut pandangan psikoanalisa yang dikemukakan oieh Freud dan
Breuler, gangguan konversi terjadi ketika seseorang mengalami peristiwa yang
menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat
diekspresikan, dan ingatan tentang peristiwa dihilangkan dan kesadaran. Pada
tulisannya kem4djan, Freud mengemukakan hipotesis bahwa ganguan konversi
terjadi pada awal kehidupan perempuan, yang berakar dan electra complex yang
tidak terselesaikan.
Ada
tiga katagori simtom yang di kutib dalam buku Mengenal Perilaku Abnormal, Dr.A.
Supratiknya, yakni
1.
Simtom sensorik, misalnya berupa hilangnya
kepekaan terhadap berbagai rangsang yang berasal dari luar maupun dalam tubuh
(anestesia); hilangnya kepekaan terhadap rasa sakit (analgesia); rabun ayam dan
sebagainya.
2.
Simtom motorik, misalnya berupa paralisis atau
kelumpuhan, biasanya hanya pada salah satu tangan atau kaki dan lumpuhnyapun
bersifat selektif dalam arti lumpuh untuk melakukan kegiatan tertentu tetapi
sehat untuk kegiatan lain (contohnya adalah gangguan pada tangan yang disebut
“writer’s cramp” atau kejang sang penulis, yaitu tidak dapat menggunakan tangan
untuk menulis tetapi dapat untuk bermain kartu).
3.
Simtom viskeral (rongga dada dan perut),
misalnya berupa keluhan pusing, sesak napas, ujung tangan dan kaki dingin, dll.
Gangguan Dismorfik
Definisi
gangguan ini adalah preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata
(misalnya hidung yang dirasakannya kurang mancung), atau keiuhan yang
beriebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil (Kaplan, Sadock,
& Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa). Menurut Davison
& Neale (2001), perempuan lebih cenderung untuk memfokuskan pada bagian
kulit, dada, paha, dan kaki; sedangkan pria lebih terfokus pada tinggi badan,
ukuran alat vital, atau rambut tubuh. Beberapa pasien cenderung menghabiskan
waktu berjam-jam untuk mengamati kekurangan mereka di cermin. Bahkan agar tidak
mengingatnya, terkadang mereka menyembunyikan cermin atau menggunakan
kamuflase, misalnya dengan menggunakan pakaian yang sangat longgar. Sebagaimana
gangguan nyeri, pada gangguan mi pun faktor subyektivitas berperan penting.
Gangguan mi lebih banyak berpengaruh pada perempuan dibanding lakilaki, dan
onset biasanya muncul sekitar usia 15-20 tahun (Kaplan, Sadock, & Grebb,
1994).
Penyebab
gangguan hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan
mungkin terdapat hubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau sosial, dengan
adanya konsep stereotip tentang kecantikan. Sedangkan menurut model
psikodinamik, gangguan mi merefleksikan pemindahan konflik seksual atau
emosional pada bagian tubuh yang tidak berhubungan. Mekanisme defensif yang
digunakan adalah represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi, dan proyeksi
(Kaplan, Sadock, & Grebb, I 994).
Penanganan untuk
penderita gangguan somatoform
Pandangan
psikoanalisa menganggap pentingnya terapi untuk mengeluarkan hal-hal yang
direpres dan ditransformasikan atau dikonversikan pada gejala ketubuhan.
Katarsis yang terjadi saat pasien menghadapi apa yang direpresnya dianggap
dapat membantu. Sedangkan ahli kognitif dan behavioral meyaki bahwa tingginya
tingkat kecemasan yang berhubungan dengan gangguan somatisasi, sangat berkaitan
dengan situasi tertentu. Larenanya teknik seperti exposures dapat digunakan
(Davision & Neale 2001 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Wiramihardja Sutardjo, Dr. 2005. Pengantar
Psikologi Abnormal, PT.Refika Aditama. Bandung
2.
Senium Yustinus. 2006. kesehatan Mental,
Percetakan Kanius. Yogyakarta
3.
Davison & Neale dari Fausiah Fitri, Widury
Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Universitas Indonesia.
Jakarta
4.
Kendall & Hammen, 1998 dari Fausiah Fitri,
Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Universitas Indonesia.
Jakarta
5.
Barlow & Durand, 1995 Fausiah Fitri, Widury
Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Universitas Indonesia.
Jakarta
6.
Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dari Fausiah
Fitri, Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Universitas
Indonesia. Jakarta
7.
Supratiknya, Dr. A. 1995. Mengenal Perilaku
Abnormal. Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.